Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna atau arti. Semantik sebagai salah satu cabang linguistik memiliki kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pada pembahasan pertama, kita akan mengenal hakikat semantik. Pembahasan mengenai hakikat ini akan dimulai dari konsep dasar semantik, ruang ringkup semantik, dan sejarah semantik. Berikut merupakan penjelasan dari ketiga komponen tersebut.
A. Konsep Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna atau arti. Semantik sebagai salah satu cabang linguistik memiliki kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik memiliki status yang sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, perbedaannya adalah cabang-cabang bahasa ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu morfologi dan sintaksis yang termasuk ke dalam tataran gramatikal, sedangkan fonologi dan semantik termasuk ke dalam tataran di luar gramatikal.
Secara etimologis, kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema yang berarti tanda. Dalam hal ini, ahli bahasa (linguis) menggunakannya untuk merujuk pada bagian linguistik yang mempelajari makna. Pada tahun 1883, seorang ahli bahasa Prancis bernama Michel Breal pertama kali menggunakan istilah “semantik” pada penelitiannya. Kata semantik kemudian dianggap sebagai istilah dalam bidang linguistik, yang mempelajari tanda-tanda linguistik dan apa saja yang dirujuknya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti, yang merupakan salah satu dari tiga tingkatan analisis bahasa, yaitu fonologi, tata bahasa, dan semantik (Chaer, 1994: 2). Kata semantik itu sendiri mewakili berbagai ide dari yang populer hingga yang sangat teknis. Biasanya digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk mengungkapkan masalah pemahaman yang bermuara pada pilihan kata atau konotasi. Untuk waktu yang lama, masalah pemahaman ini telah menjadi subjek dari banyak masalah formal, terutama di bidang semantik formal.
Sejak Chomsky menjelaskan pentingnya semantik dalam penelitian linguistik, semantik sebagai bagian dari penelitian linguistik semakin menarik perhatian. Semantik bukan lagi objek periferal, tetapi objek penelitian yang sepadan dengan bidang penelitian bahasa lainnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Berbagai teori Ferdinand de Saussure tentang makna mulai bermunculan, teorinya bahwa tanda linguistik (signe linguistique) tersusun atas komponen signifian dan signifie. Selain itu, Hockett (1954) menunjukkan dalam Chaer (1994) bahwa bahasa adalah sistem kebiasaan yang kompleks. Sistem bahasa ini meliputi lima subsistem, yaitu subsistem tata bahasa, subsistem fonetik, subsistem fonem morfologis, subsistem semantik, dan subsistem fonologi. Chomsky sendiri tidak menyinggung soal makna dalam buku pertamanya, tetapi menunjukkan dalam buku kedua (1965) bahwa semantik merupakan bagian integral dari tata bahasa, di samping dua komponen lainnya, yaitu sintaksis, fonologi, dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
B. Ruang Lingkup Semantik
Sebagaimana disebutkan di atas, objek semantik adalah makna, dan diketahui pula bahwa suatu ilmu memiliki ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian ini biasanya digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut sebagai ilmu. Seperti disebutkan sebelumnya, semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik dari segi struktur dan fungsi bahasa, atau dalam bidang ilmu interdisipliner. Namun, dalam hal ini, ruang lingkup semantik terletak pada hubungan antara ilmu makna dalam linguistik, meskipun faktor nonlinguistik terlibat sebagai fungsi bahasa nonsimbolis (emotif dan afektif). Dalam hal ini, semantik dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) jenis makna, (2) hubungan makna, dan (3) perubahan makna. Oleh sebab itu, berikut merupakan penjelasan dari masing-masing bagian tersebut.
1. Jenis Makna
Palmer percaya bahwa ada empat jenis makna, antara lain (a) makna kognitif, (b) makna konseptual, (c) makna diperluas, dan (d) makna proporsional. Sedangkan menurut Shipley dan Ed, ada 7 jenis makna, yaitu (a) makna emosional, (b) makna kognitif, (c) makna referensial, (d) makna gambar, (e) makna kamus, (f) submakna, dan (g) makna inti. Lalu, Verhaar mengusulkan makna gramatikal dan makna leksikal, dan Bloomfield mengusulkan dua istilah, yaitu makna sempit dan makna berliku-liku. Kemudian karya Leech (1976) yang banyak dikutip secara luas dalam penelitian semantiknya, membedakan tujuh makna, yaitu (a) makna konseptual, (b) makna konotatif, (c) makna stilistika, (d) makna emosional, (e) makna reflektif, (f) makna kolokasi, dan (g) makna tema. Perlu diperhatikan bahwa makna konotatif, makna stilistika, makna emosional, makna reflektif, dan makna kolokasi termasuk dalam kelompok yang lebih besar, yaitu makna asosiatif.
Dalam pandangan Dezu Tatsuhiko, makna dibagi menjadi dua bagian, yaitu makna dasar dan makna relasional. Dalam pandangannya, makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, selalu ditempatkan di mana saja dalam kata, dan makna relasional diberikan dengan menyimpan kata di lokasi khusus dan ditambahkan ke makna yang ada konotasi tertentu. Berbeda dari semua kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
2. Hubungan Makna
Hubungan makna adalah hubungan semantik antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frasa, dan kalimat. Hubungan semantik tersebut dapat mengungkapkan makna yang serupa dan bertentangan, dualitas makna, atau kelebihan makna. Hubungan makna semacam ini mungkin terkait dengan makna yang serupa (sinonim), makna yang berlawanan (antonim), makna ganda (polisense dan ambiguitas), makna inklusi (hiponim), makna abnormal (homonimi), dan makna berlebihan (redundansi), serta masih banyak lagi.
3. Perubahan Makna
Arti kata atau morfem (satuan terkecil dalam kamus) tidak akan berubah, tetapi dapat berubah secara diakronis. Dengan kata lain, dalam waktu yang singkat, arti suatu kata akan tetap tidak berubah, tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama, arti kata tersebut akan berubah. Kemungkinan ini tidak berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam suatu bahasa, tetapi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian perkembangan sosial budaya, perkembangan penggunaan kosakata, dan pertukaran tanggapan indera. Perubahan semantik, atau perubahan makna, sering disertai dengan perubahan sosial yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti perpindahan penduduk, perang, kemajuan teknologi, dan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan budaya. Tentu saja perubahan makna ini dapat dilihat dari berbagai jenis. Ada enam jenis perubahan makna yaitu: (a) generalisasi (perluasan), (b) spesialisasi (pengkhususan, penyempitan), (c) peyorasi (penurunan), (d) ameliorasi (peninggian), (e) sinestesia (pertukaran), dan (f) asosiasi (persamaan).
C. Sejarah Kajian Semantik
Pada mulanya disiplin ilmu semantik tidak seperti sekarang ini, hanya semacam pemikiran dan tidak menjadi suatu disiplin ilmu yang mutlak. Ketika para ahli mulai menyadari disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk linguistik, ilmu bahasa pun mulai beragam. Dengan berkembangnya zaman, semantik pada awalnya hanya ada dalam bentuk “makna”. Bahasa ini awalnya berasal dari ahli bahasa terapan Inggris pada tahun 1920-an dan 1930-an. Selama periode ini, beberapa ahli terkemuka di bidang linguistik terapan meletakkan dasar bagi prinsip-prinsip dan metode metodologi bahasa. Sebelum lahirnya metode linguistik, Aristoteles (384–322 SM) telah mengungkapkan konsep semantik, dengan mendefinisikan bahasa sebagai “unit terkecil yang mengandung makna”, ia menggunakan kata “makna”. Dalam hal ini, Aristoteles juga mengatakan bahwa makna kata dapat dibagi menjadi dua jenis, satu adalah makna yang muncul secara mandiri dari kata itu sendiri, dan yang lainnya adalah makna kata yang muncul karena hubungan gramatikal. Pada saat yang sama, Plato mempertanyakan hubungan antara simbol dan maknanya. Socrates (460–399 SM) percaya bahwa simbol harus sesuai dengan acuan.
Selain itu, Franz Bopp (1792–1867) memulai semantik dengan secara sistematis membandingkan akhiran kata kerja dalam bahasa Yunani, Sansekerta, Latin, Persia, dan Jerman. Kemudian pada tahun 1818, Rasmus Kristian (1787–1832) menunjukkan bahwa kata-kata dalam bahasa Jerman mengandung unsur bunyi yang sering diasosiasikan dengan kata-kata dalam bahasa Indo-Eropa lainnya. Semantik historis cenderung mempelajari semantik yang berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa, seperti latar belakang perubahan makna, hubungan antara perubahan makna dan logika, psikologi, dan perubahan makna itu sendiri dalam karya M. Breal berjudul Essai de Semantique (1897) atau akhir abad ke-19. Tahun itu, dengan munculnya karya-karya M. Breal, semantik secara tegas dinyatakan sebagai ilmu makna sebagai ciri. Pada periode berikutnya setelah karya Strom (1931) sebelum Jenewa, kumpulan catatan kuliah oleh seorang guru bahasa diterbitkan, serta yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik selanjutnya, yaitu karya Ferdinand de Saussure yang disebut Cours de Linguitique Generale.
Sementara itu, dalam kajian metodologi penafsiran Al-Qur.’an, mulai dari klasik, modern dan kontemporer, banyak kritikus yang mengadopsi metode linguistik atau semantik untuk menafsirkan Al-Qur.’an, salah satunya adalah Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir, Tafsir Anill Al-Qur.’an, Tafsir al-Wadhih, Tafsir Aisya Binthu Sya’ti, Tafsir Tanriru wa Tanwir, Tafsir al-Misbah dan banyak tafsir lainnya dengan menggunakan gaya bahasa, kemudian dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu dengan menggunakan metode semantik Al-Qur.’an.
Dilihat dari sejarah semantik di atas, perkembangan semantik telah menjadi nama subjek dari pemahaman makna. Salah satu inti dan tujuannya adalah untuk mencari makna kata, memperluas pengetahuan linguistik Al-qur.’an dari kata-kata tersembunyi yang tidak dapat dievaluasi oleh teks, dan menghindari makna menebak-nebak. Semantik juga telah mengalami berbagai perkembangan di era milenium ini.
D. Daftar Referensi
- Achmad, & Alek Abdullah. (2013). Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga
- Chaedar, A. (2011). Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
- Chaer, A. (1995). Edisi Revisi: Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
- Chomsky, N. (1995). Language and Nature. Mind, 104(413), 1-61.
- Tarigan, Henry Guntur. (1985). Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.