Pragmatik adalah studi tentang makna bahasa dalam situasi tertentu. Sifat-sifat bahasa dapat dipahami melalui pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Salah satunya melalui teks, koteks, dan konteks. Pada pembahasan ini, ketiga hal tersebut akan dibahas.
A. Teks
Linguistik berkembang begitu pesat. Ini dimulai dengan pengembangan gramatikal yang berpusat pada kalimat dan jenis kata, diikuti oleh studi wacana. Salah satunya adalah teks. Teks secara umum dapat diartikan sebagai kata-kata lisan dalam bentuk tulisan. Banyak ahli bahasa telah mengusulkan makna teks berdasarkan sudut pandang yang sama dan berbeda. Pandangan mereka didasarkan pada semiotika, sosiolinguistik, linguistik pragmatik, dsb. Pandangan para ahli tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, Larsen (1998) mendeskripsikan makna teks berdasarkan semiotika, yaitu teks sebenarnya merupakan kombinasi tanda yang diwujudkan, disaring melalui logika, serta diskursif yang disengaja. Teks adalah penentu kunci semiotika yang paling penting dan terbukti dengan sendirinya, yaitu manifestasi material yang dirujuk, terutama tanda-tanda linguistik. Bahkan, teks-teks tersebut didefinisikan secara berbeda dan istilah-istilah tersebut digunakan pada tingkat argumentasi yang berbeda. Kedua, teks dalam pragmatik dapat didefinisikan sebagai poin berikut dari Togeby (1998: 1008).
“A text is defined as a communicative event in which the communicator transfers to the audience, by means of language, and with social consequences, some propositional contents; the text is, across time, delimited by a change of one of the factors in the communicative situation a shift of communicator, of communicators’s intention, of topic, of audience, of social relations, of communication channel, or of language establishes the beginning of a new text. A text is normally onepersons’s written or spoken utterance, intended as one message to one audience about one coherent topic in one concrete situation.”
Dari pendapat di atas, dapat kita artikan sebagai “Sebuah teks didefinisikan sebagai peristiwa komunikatif yang komunikatornya diubah menjadi pendengar melalui bahasa dan konsekuensi sosialnya, konten proporsional; teks dibatasi oleh faktor-faktor yang menyampaikan informasi dalam situasi komunikatif—transfer ke pembicara, perhatian pembicara, topik lawan bicara, hubungan sosial, saluran komunikasi, atau mengidentifikasi bahasa sebagai awal teks baru. Biasanya, teks adalah tulisan atau ucapan seseorang yang dirancang untuk menyampaikan informasi kepada lawan bicara tentang suatu topik yang bermakna dalam situasi nyata”. Selain itu, teks tersebut dapat berbentuk tulisan atau lisan. Halliday dan Hasan (1989: 10) berpendapat bahwa teks adalah fungsional. Jika sesuatu tidak memiliki fungsi atau apa pun, itu bukan teks. Hal-hal yang memiliki fungsi harus memiliki konteks dengan hal-hal lain. Jika ia dapat melihat sesuatu dalam konteksnya, ia menemukan fungsinya. “Kita dapat mendefinisikan teks, mungkin dengan cara yang paling sederhana, dengan mengatakan bahwa itu adalah bahasa yang fungsional, yang kami maksud dengan fungsional adalah bahasa yang melakukan pekerjaan dalam konteks tertentu, sebagai lawan dari kata atau kalimat terisolasi yang mungkin saya letakkan di papan tulis ini mungkin juga berfungsi, tentu saja, jika saya menggunakannya dalam konteks situasi, kita akan menyebutnya teks”. Pandangan Halliday dan Hasan dapat dilihat pada kutipan berikut.
“We can define text, in the simplest way perhaps, by saying that it is languagethat is functional. By functional, we simply mean language that is doing some job in some context, as opposed to isolated words or sentences that I might put on the blackboard (these might also be functional, of course, if I was using them a context of situation, we shall call a text. It may be either spoken or written, or indeed in any other medium of expression that we like to think of).”
B. Koteks
Koteks di sini secara sederhana akan dilihat sebagai lingkungan linguistik langsung di mana unit-unit ujaran (kata, frasa, ujaran, rangkaian ujaran) yang dibawa ke perhatian penafsir muncul dan diinterpretasikan dalam rangkaian ujaran. Koteks adalah hal yang wajar dalam linearitas bahasa dan urutan bicara. Dalam setiap rentang ujaran, interpretasi ujaran bergantung pada informasi yang diberikan oleh ujaran sebelumnya dalam urutan tersebut dan juga diperlukan untuk menginterpretasikan tuturan berikutnya di dalamnya.
Kridalaksana (2011: 137) mendefinisikan koteks sebagai kalimat atau unsur yang mendahului dan/atau mengikuti unsur lain dalam tuturan. Koteks tidak hanya dapat berupa kalimat dan paragraf yang lengkap, tetapi juga frasa atau kata. Sinergi teks dan koteks memiliki posisi yang sama bahkan dapat dipisahkan di dalam teks. Contohnya, kata “selamat datang” harus diakhiri dengan kata “sampai jumpa”, dan kedua kata itu saling melengkapi. Contoh lain mungkin frasa yang tidak tertulis secara eksplisit, seperti “tutup pintunya”, dan seseorang yang mendengar frasa ini akan mencari pintu terdekat dan menutupnya. Karena timbal balik dari kalimat yang diucapkan, bahkan jika tidak tertulis, adalah mungkin untuk mengucapkan teks yang sama dalam kata-kata. Sepintas, koteks dan kohesi tampak sama, mengacu pada apa yang hadir dalam wacana. Jika dijelaskan bahwa koteks hampir berada pada posisi yang sama dengan teks, maka itu merupakan hubungan sebab akibat, kohesi hanyalah hubungan, dan yang dimaksud belum tentu timbal balik. Lebih khusus lagi, kohesi mengacu pada kata ganti orang, kata benda, substitusi, pengulangan, dan kolokasi, yang mana semuanya saling berhubungan.
C. Konteks
Dalam situasi komunikasi, paling tidak ada dua orang yang terlibat dalam tuturan, yaitu penutur dan mitra tutur. Penutur berusaha menyampaikan informasi kepada mitra tutur saat berinteraksi dan mitra tutur berusaha memahami atau menafsirkan makna pesan penutur. Dalam menjelaskan konteks di mana interaksi suara ini dijelaskan, tergantung pada konteksnya, baik konteks situasi maupun konteks budaya. Beberapa ahli menawarkan pendapat mereka tentang konteksnya. Pandangan-pandangan ini dijelaskan sebagai berikut.
Konteks merupakan bagian integral dari teks. Konsep konteks yang paling terkenal dikemukakan oleh Hymes (1972: 59), yang berpendapat bahwa konteks terdiri dari delapan komponen, yang lebih dikenal dengan akronim SPEAKING. Delapan komponen yang dibahas adalah setting (latar) dan scene (adegan), dilambangkan dengan huruf S pada mnemonik; Speaker (penyapa), Addressor (penyapa), Hearer (pendengar), dan Addressee (mitra tutur). Keempat komponen di atas disebut partisipan dan dilambangkan dengan huruf P dalam mnemonik; tujuan-hasil (intent-result), tujuan-maksud (intent) yang diwakili oleh huruf P dalam arti mnemonik E; Message Form (bentuk pesan) dan Message Content (isi pesan) keduanya bernama Act Sequence, yang diwakili oleh huruf A dalam mnemonik; Key (nada) menggambarkan suasana dan cara percakapan, yang dalam mnemonik, yang dilambangkan dengan huruf K; Channels (saluran), Forms of Speech (bentuk ucapan) adalah varian ucapan, dilambangkan dengan kata Instrumen atau huruf I dalam mnemonik; berupa norma interaksi, norma interpretasi dilambangkan dengan huruf N dalam mnemonik; genre (jenis), yang meliputi bentuk-bentuk wacana seperti puisi, pidato, korespondensi, dll, yang dilambangkan dengan huruf G dalam mnemonik. Sedangkan Van Dijk (1977) mendefinisikan konteks sebagai berikut.
A first property of context to be emphasized is its … dynamic‟ character. A context is not just one possible world-state, but at least a sequence of world states. (cf. van Dijk, 1977).”
Dari kutipan di atas, dapat kita simpulkan bahwa ciri pertama dari konteks yang harus ditekankan adalah sifatnya yang “dinamis”. Konteks bukanlah keadaan dunia yang mungkin, tetapi setidaknya serangkaian keadaan dunia, dan situasi hanya sama dengan situasi, kecuali maknanya telah berubah. Konteks adalah rangkaian peristiwa. Secara teori, sebuah konteks dapat didefinisikan dalam hal kondisi ujaran yang konsisten dengan realitas awal atau akhir dari konteks tersebut. Namun, konteks tertentu tidak harus dibatasi. Selain itu, Jumanto (2008: 30–31) dikutip dari beberapa pendapat ahli, yang menyatakan bahwa hakikat konteks adalah:
- Konteks adalah konsep yang dinamis, tidak statis, harus dipahami sebagai lingkungan yang berubah atau seperangkat realitas dunia, dalam arti luas dan dimiliki bersama oleh partisipan (setiap latar belakang pengetahuan), yang memungkinkan partisipan Bahasa yang digunakan dalam proses, komunikasi, dan interaksi mereka dapat dipahami dengan baik sesuai dengan konteks sosial budaya tertentu.
- Konteks mencakup referensi tekstual dan situasional. Referensi kontekstual lebih diutamakan daripada referensi tekstual.
- Konteks digunakan untuk memahami semua faktor yang berperan dalam memproduksi dan memahami ucapan, dan berorientasi pada pengguna, sehingga penggunaannya dapat bervariasi antar pengguna, antar kelompok, dan bahkan antar bahasa pengguna.
Menurut Edi Subroto (2008: 511), konsep konteks dalam pragmatik dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, konteksnya dinamis, tidak statis. Kedua, konteks mengacu pada objek dan hal-hal yang terdapat pada tempat dan waktu tuturan. Ketiga, konteks berkaitan dengan interaksi antara penutur dan mitra tutur mengenai variabel-variabel seperti kekuasaan, status sosial, jarak sosial, usia, jenis kelamin, dll. Keempat, konteks juga berkaitan dengan keadaan psikologis dan motivasi berbicara penutur dan mitra tutur selama interaksi. Kelima, konteks juga melibatkan praanggapan, latar belakang pengetahuan, skema, sugesti (berkaitan dengan deskripsi). Keenam, konteks termasuk dalam lingkungan fisik yaitu warna suara dan intonasi dari peserta tutur. Selain itu, konteks dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) konteks situasi, dan (2) konteks pengetahuan. Konteks situasi adalah lingkungan terdekat di mana teks benar-benar berfungsi. Konteks pengetahuan adalah lingkungan di mana teks dapat diterima. Dari uraian beberapa ahli yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah segala sesuatu yang menyertai dan membersamai teks. Dengan segala sesuatu yang menyertai teks, dapat ditentukan bahwa teks tersebut bermakna.
D. Daftar Referensi
- Edi Subroto. (2008). “Pragmatik dan Beberapa Segi Metode Penelitiannya” Dalam Kelana Bahana Sang Bahasawan (penyunting Katharina Endriati Sukamto). Jakarta: Universitas Atma Jaya, halaman: 505–516.
- Halliday, M.A.K and Hasan, Ruqaiya. (1989). Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press.
- Harimurti Kridalaksana, Fx. Rahyono, Dwi Puspitorini, Supriyanto Widodo, dan Darmoko. (2001). Wiwara, Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Hymes, Dell. (1972). Direction In Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York, Chicago, San Francisco, Atlanta, Dallas, Montreal, Toronto, London, Sydney: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
- Jumanto. (2008). Komunikasi Fatis Di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. Semarang: World Pro (Profesional of The World).
- Larsen, S.E. (1998). “Semiotics” dalam Jacob L. Mey (ed). Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsivier Science Ltd. halaman: 833–846.
- Togeby, D. (1998). “Text Pragmatics” dalam Jacob L. Mey (ed). Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsivier Science Ltd. halaman: 1008–1011.
- Van Dijk, Teun A. (1977). Text and Context: Exploration in the Semantics and Pragmaics of Discoure. Essex: Longman Group Ltd.