Pragmatik adalah cabang linguistik yang membahas apa yang terkandung dalam struktur bahasa sebagai sarana komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai acuan tanda-tanda kebahasaan dalam membahas hal-hal ekstralinguistik. Pada pembahasan ini, kita akan mengenal mengenai sejarah kajian pragmatik, yang dimulai dari pengertian pragmatik, objek dan ruang lingkup pragmatik, serta hubungan pragmatik dengan cabang-cabang ilmu linguistik lainnya.
A. Pengertian Pragmatik
Kata pragmatik berasal dari kata “Pragmatica“, yang diperkenalkan oleh Charles Morris (1938) dalam sistematisasi ajaran Charles R Pierce tentang semiotika (ilmu tanda). Pragmatica adalah ilmu tentang pragmatik, yaitu hubungan antara tanda dan pengguna. Semiotika memiliki tiga cabang, yaitu (1) semantik, (2) sintaksis, dan (3) pragmatik.
Pragmatik adalah studi tentang makna bahasa dalam situasi tertentu. Sifat-sifat bahasa dapat dipahami melalui pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang semakin dikenal dewasa ini, meskipun para ahli bahasa jarang atau tidak pernah menyebut ilmu ini dalam dua dekade terakhir. Hal ini didasarkan pada tumbuhnya kesadaran di kalangan ahli bahasa bahwa tanpa pemahaman pragmatik, cara bahasa digunakan dalam komunikasi, upaya mengungkap hakikat bahasa tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan.
Leech juga mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam kaitannya dengan situasi bicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tahun 2005 disebutkan bahwa pragmatik berkaitan dengan kondisi yang mengarah pada kesesuaian bahasa yang digunakan dalam komunikasi. Sedangkan pengertian pragmatik menurut International Pragmatics Association (IPRA), berarti pemeriksaan seluk beluk penggunaan bahasa dan fungsinya. Ahli pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda.
Menurut Verhaar, pragmatik adalah cabang linguistik yang membahas apa yang terkandung dalam struktur bahasa sebagai sarana komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai acuan tanda-tanda kebahasaan dalam membahas hal-hal ekstralinguistik.
Purwo mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang makna ujaran (wacana) dengan menggunakan makna yang bergantung pada konteks. Memperlakukan bahasa secara pragmatis adalah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yaitu penggunaannya dalam peristiwa komunikatif.
Morris mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang penggunaan simbol, yang secara khusus dapat dijelaskan sebagai cara orang menggunakan simbol bahasa dan cara simbol bahasa diinterpretasikan. Dengan definisi ini orang berarti pengguna tanda itu sendiri, pembicara.
Menurut Leech, pragmatik adalah studi tentang makna dalam kaitannya dengan konteks tuturan, termasuk unsur pembicara dan pendengar, konteks, tujuan, perilaku tersirat, tuturan, waktu, dan tempat. Thomas mendefinisikan pragmatik dengan menggunakan perspektif sosial dan kognitif. Dari perspektif sosial, Thomas menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara. Dari perspektif kognitif, pragmatik berkaitan dengan interpretasi wacana.
Menurut Levinson, pragmatik didefinisikan sebagai berikut. Pertama, mempelajari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penafsiran makna bahasa. Di sini, memahami/mengartikan bahasa berarti bahwa untuk memahami suatu ekspresi/bunyi bahasa, diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan gramatikalnya, yaitu hubungannya dengan konteks penggunaannya. Kedua, mempelajari kemampuan pemakai bahasa untuk mengasosiasikan kalimat dengan konteks yang sesuai untuk kalimat tersebut dengan baik.
B. Objek dan Ruang Lingkup/Bidang Kajian Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang makna bahasa dalam situasi tertentu. Sifat-sifat bahasa dapat dipahami melalui pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Penelitian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa adanya konteks. Konteks suatu situasi meliputi partisipan, perilaku partisipan (baik verbal maupun nonverbal), ciri-ciri situasi lainnya dalam kaitannya dengan apa yang sedang terjadi, dan pengaruh tindak tutur berupa hasil perilaku peserta. Konteks suatu situasi erat kaitannya dengan pragmatik (bahasa yang digunakan).
Penggunaan bahasa (pragmatik) dibedakan menjadi tiga tindak tutur, yaitu (1) lokusi, (2) ilokusi, (3) perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak tutur yang menghasilkan ujaran dengan makna dan acuan tertentu. Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang dilakukan sambil mengatakan sesuatu, seperti pernyataan, janji, masalah perintah, permintaan, dan penunjukan nama. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang dilakukan untuk memengaruhi seseorang, misalnya membuat orang marah, menghibur, dsb. Pragmatik dapat dipelajari dari empat aspek. Pertama, kajian linguistik, dipahami sebagai penelitian yang mengintegrasikan komponen tanda dan makna bunyi serta subsistemnya (fonologi, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan kamus). Kedua, kajian pragmatik ujaran (tema-rema). Ketiga, mengkaji pragmatik wacana dengan wacana (konteks wacana) sebagai unit yang paling lengkap. Terakhir, kajian kesantunan dan ketakrifan.
C. Hubungan Pragmatik dan Semantik
Semantik sebagai ilmu yang mempelajari makna erat kaitannya dengan pragmatik, yaitu ilmu yang mempelajari tuturan, konteks, dan makna yang terkandung dalam tuturan dalam konteks. Salah satu keterkaitan antara keduanya adalah bahwa semantik bebas konteks dan membutuhkan pragmatik sebagai ilmu yang menghubungkan fonetik dengan konteks dan makna yang dibentuk oleh keduanya. Yang perlu disadari dalam komunikasi adalah bahwa komunikasi sangat bergantung pada konteks. Tuturan yang sama belum tentu berarti sama jika konteksnya berbeda. Semantik juga diperlukan dalam pragmatik karena dasar untuk mempelajari makna dalam konteks adalah makna dasar atau semantik wacana. Inilah sebabnya mengapa keduanya sangat erat kaitannya, yaitu semantik dan pragmatik saling melengkapi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa baik semantik dan pragmatik adalah studi tentang makna bahasa, tetapi mereka memiliki subjek yang berbeda. Semantik merupakan studi tentang makna bahasa ditinjau dari hubungan kontekstual (makna dalam satu bahasa dan makna dalam bahasa lain, terlepas dari konteks kata, penutur, penutur), ketika memasuki bidang pragmatik, makna bahasa akan dipelajari dalam konteks kata dan bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi yang nyata.
D. Hubungan Pragmatik dan Sosiolinguistik
Sebagai salah satu cabang linguistik, sosiolinguistik mempelajari hubungan dan interaksi antara perilaku bahasa dan perilaku sosial, yang menjadi dasar untuk memahami konteks. Sosiolinguistik, sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna konteks, mengungguli pragmatik, karena konteks erat kaitannya dengan perilaku sosial masyarakat, salah satunya bahasa yang merupakan kajian sosiolinguistik. Tindakan pragmatis suatu kelompok masyarakat akan berbeda dengan yang lain. Sosiolinguistik, sebagai ilmu yang mempelajari sosiolinguistik, akan sangat membantu dalam menentukan makna perilaku pragmatik kelompok masyarakat bahasa yang berbeda. Jadi, baik pragmatik dan sosiolinguistik mempelajari bagaimana makna bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dalam masyarakat atau komunitas tertentu.
E. Hubungan Pragmatik dan Gramatika
Gramatika adalah seperangkat aturan yang mengatur bahasa tradisional. Hal ini dapat dilihat dari perspektif fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa pembicara dengan mitra berbicara, yang cenderung lebih relevan dengan konteks percakapan. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk bahasa dan pengguna bentuk-bentuk itu. Keuntungan belajar bahasa melalui pragmatik adalah orang dapat berbicara tentang apa yang ingin diungkapkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis tindakan (seperti permohonan) yang mereka tunjukkan saat berbicara. Jadi, hubungan pragmatik dengan gramatika dapat dilihat dari beberapa aturan yang diimplementasikan dalam bidang kajian ilmu pragmatik.
F. Hubungan Pragmatik dan Stilistika
Stilistika atau ilmu gaya bahasa adalah cabang ilmu linguistik yang memusatkan perhatian pada analisis bahasa kiasan. Stilistika sendiri diambil dari kata bahasa Inggris, yaitu style. Hubungan pragmatik dengan stilistika dapat kita lihat pada kajian tentang ciri-ciri bahasa dalam penggunaan wacana-wacana tertentu. Kajian ini dinamakan sebagai stilistika pragmatik. Stilistika pragmatik menekankan hubungannya dengan bahasa dalam praktik penggunaan. Secara umum linguistik, bahasa dalam karya sastra (huruf, fonem, kata) sama dengan bahasa nonsastra. Kata lepas “saya” dalam bahasa sastra mempunyai arti yang sama dengan kata “saya” dalam bahasa nonsastra, yaitu orang pertama tunggal; “kau” dalam bahasa sastra sama dengan bahasa nonsastra, yaitu, orang kedua tunggal. Namun, dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku”, kata “kau” berbeda dengan kata “kamu” (orang kedua tunggal). Namun, artinya sama dengan “kau”, “para kau”, “kalian” atau bahkan “kita”.
G. Hubungan Pragmatik dan Wacana
Wacana adalah unit fungsional bahasa dalam konteks. Studi wacana dalam kaitannya dengan makna yang terkandung dalam wacana tertulis atau lisan. Analisis ini mencakup fungsi atau makna empiris, logis, interpersonal, dan tekstual (Saragih, 2003). Hubungan pragmatik dengan wacana dapat kita lihat pada analisis wacana. Analisis wacana, pragmatik menurut Yule (1996: 84) adalah menganalisis:
“What is un said or unwritten (yet communicated) with in discourse being analized. In order to do the pragmatics of discourse, we have to go beyond the primarily social concerns of interaction and conversation analysis, look behind the forms and structures present on the texts, and pay much more attention to psychological concepts such and background knowledge, beliefs and expectations. In the pragmatics of discourse, we inevitably explore what the speaker or writer has in mind.”
Kutipan di atas berarti bahwa pragmatik wacana adalah studi tentang makna yang tidak ada dalam wacana (tidak ada makna dalam pikiran seorang pembicara). Makna ini dibentuk oleh asosiasi bahasa pembicara dengan konsep wacana mental pembicara, termasuk latar belakang pengetahuan, keyakinan, dan harapan. Secara teknis, konsep ini mencakup koherensi, pola, dan kerangka kerja. Koherensi adalah hubungan makna berdasarkan pengalaman bersama penutur bahasa. Skema adalah struktur pengetahuan yang sebenarnya sudah ada di benak pengguna bahasa dan sudah menjadi skema dalam rangkaian peristiwa. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan atau disampaikan oleh pembicara dan ditafsirkan oleh pendengar.
Dengan kata lain, pragmatik mencakup studi tentang makna yang disampaikan oleh pengguna bahasa. Makna atau makna yang disampaikan oleh pemakai bahasa melebihi makna yang diucapkan secara tertulis. Artinya satuan bahasa pragmatik dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, paragraf, atau bentuk kebahasaan lainnya. Jadi, hubungan pragmatik dengan wacana dapat dilihat dari makna-makna atau tafsiran yang tidak ada di dalamnya.
H. Latar Belakang Munculnya Perkembangan Kajian Pragmatik
Pragmatik merupakan bidang kajian yang relatif baru, atau kemunculannya masih sangat muda. Morris (1995: 50) mengungkapkan pemikirannya tentang semiotika, membaginya menjadi tiga bidang kajian, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Pemikirannya tentang ketiga hal tersebut merupakan cikal bakal penelitian atau kajian pragmatik, Morris sebagai pencetus pragmatik berpijak pada bidang profesionalnya yaitu semiotika. Oleh karena itu, tiga bidang studi yakni: sintaksis, semantik, dan pragmatik dimasukkan sebagai bagian dari semiotika, atau dengan kata lain, semiotika yang mengawasi linguistik.
Selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa pragmatik adalah bagian dari linguistik, sehingga di beberapa perguruan tinggi di Indonesia ada program penelitian di bidang linguistik dan belum ada penelitian di bidang semiotika. Peirce (1995: 45) memperkenalkan semiotika sebagai ilmu yang lebih luas daripada linguistik. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, dan Peirce menyebutkan sepuluh (10) prinsip klasifikasi tanda. Kesepuluh prinsip klasifikasi tanda ini merupakan kombinasi dari trikotomi tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Sepuluh prinsip untuk menggabungkan trikotomi simbolik ke dalam klasifikasi simbolik ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Penjelasan Pierce menunjukkan bahwa semiotika dapat mencakup bidang ilmu apapun (kedokteran, fisika, kimia, hukum, dll) karena sistem tanda yang digunakan dalam kehidupan manusia sehari-hari telah merambah setiap bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, beberapa ahli mengemukakan bidang penelitian sintaksis, semantik, pragmatik plus terminologi bahasa, menjadikannya linguistik sintaksis, linguistik semantik, dan linguistik pragmatik. Penambahan istilah linguistik dimaksudkan untuk memfokuskan pada bidang kajian, sehingga tidak terlalu luas untuk masing-masing bidang kajian. Secara historis, pragmatik pada awalnya tidak dibahas sebagai bagian dari bidang studi bahasa. Komponen penelitian linguistik meliputi: fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Dengan demikian, tanpa penambahan kata linguistik, pragmatik dapat memasuki bidang penelitian semiotika (bidang keilmuan yang lebih luas dibandingkan dengan linguistik). Beberapa semiotika mempelajari pragmatik sebagai sistem tanda, sementara beberapa ahli bahasa mempelajari pragmatik sebagai bagian integral dari studi bahasa. Jika kita masuk ke penelitian linguistik, pertanyaan yang muncul adalah apa yang termasuk dalam penelitian linguistik?
Kreidler (1998) memasukkan pragmatik dalam studi komponen semantik dalam bukunya “Introducing English Semantics”. Semantik adalah ilmu yang mempelajari makna, dan pragmatik juga mempelajari makna. Perbedaan keduanya adalah bahwa semantik mempelajari makna berdasarkan konteks (hubungan dengan struktur kata) sedangkan pragmatik mempelajari makna berdasarkan konteks (hubungan dengan konteks dan budaya). Dengan demikian, pragmatik merupakan pengembangan dari komponen semantik dalam kajian linguistik. Leech (1983) percaya bahwa pragmatik bukanlah studi tentang semantik, tetapi pragmatik dapat melengkapi semantik.
Pragmatik dan semantik saling melengkapi dalam kajian makna, oleh karena itu hubungan keduanya saling melengkapi. Sesuatu yang belum dipelajari secara semantik dapat dilakukan dengan penelitian pragmatis. Kenyataannya, pragmatik berkembang setelah semantik, maka pragmatik berkembang dari semantik. Beberapa ahli membedakan antara semantik dan pragmatik. Pertama, beberapa ahli percaya bahwa pragmatik adalah bagian dari semantik (semantik). Kedua, beberapa ahli percaya bahwa semantik dan pragmatik adalah saling melengkapi (complementerime). Ketiga, beberapa ahli percaya bahwa pragmatik adalah studi yang lebih luas daripada semantik.
Sudut pandang Morris merupakan awal dari munculnya pragmatik, yang kemudian dikemukakan oleh Austin. Dalam bukunya How to Do Things with Words (1955), Austin menciptakan istilah tindak tutur. Dia percaya bahwa seseorang juga bertindak ketika dia berbicara. Pandangan ini menjadi dasar penelitian pragmatik, yaitu analisis tema pragmatik tidak dapat dipisahkan dari tindak tutur. Teori tindak tutur juga dikemukakan oleh De Saussure (1988: 86–87), yang membagi bahasa menjadi dua jenis tindak tutur, yaitu parole dan langue. Perkembangan selanjutnya, istilah pragmatik disebut oleh Chomsky sebagai perkembangan linguistik. Tata bahasa generatif, yang dirumuskan oleh Chomsky sekitar tahun 1970, semakin kehilangan statusnya sebagai paradigma linguistik. Ada banyak inovasi di benak para ahli bahasa yang cakupannya lebih luas daripada tata bahasa generatif. Sebagai hasil dari pemikiran yang luas ini, muncul sosiolinguistik, psikolinguistik, etnolinguistik, dan yang lebih baru lagi pragmatik.
Menurut penjelasan para ahli di atas, dapat dibedakan dari sudut pandangnya, yaitu formalisme dan fungsionalisme. Aliran formalis memandang linguistik sebagai studi tentang bentuk-bentuk bahasa, mulai dari morfem hingga teks. Morfem, frasa, klausa, dan kalimat dipelajari dari segi struktur yang membentuknya; istilah teks digunakan untuk hubungan antarkomponen yang membentuknya. Aliran fungsionalisme mempelajari fungsi bahasa (dari ujaran ke wacana). Fonetik adalah penggunaan bahasa selain istilah kalimat; kata wacana mengacu pada fungsi ujaran yang membentuk wacana. Oleh sebab itu, itulah latar belakang munculnya perkembangan kajian pragmatik.
I. Daftar Referensi
- ______. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi ke-3. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Balai Pustaka
- Chomsky, Noam. (1992). Language and Problems of Knowledge. London: The MIT Press.
- Christomy, T. (2001). Pengantar Semiotik Pragmatik Pierce: Nonverbal dan Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Bahan Pelatihan Semiotika, 7–14.
- De Saussure, Ferdinand. (1988). Pengantar Linguistik Umum (penerjemah Rahayu S.H). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Kreidler, Charles W. (1998). Introducing English Semantics. London and New York: Routledge the Taylor & Francis Group.
- Kaswanti Purwo, Bambang. (1990). Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyimak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
- Leech, Geoffrey. (1983). Principles of Pragmatics. Singapore: Longman Singapore Publishers Pte Ltd.
- Levinson, Stephen C. (1991). Pragmatics. Cambridge, New York Port Chester, Melbourne Sydney: Cambridge University Press.
- Morris, Charles William. (1995). “Survey of Morris‟s Semiotic Writings” dalam Winfried Noth (ed) Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Halaman: 48–56.
- Thomas, Jenny. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. New York: Longman.
- Verhaar, J.W.M. (1996). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Yule, George. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.