Dalam bahasa, makna kata-kata saling berhubungan, dan hubungan ini disebut dengan istilah relasi makna. Hubungan makna dapat mengambil banyak bentuk. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sering kita jumpai makna atau hubungan semantik antara suatu kata atau satuan bahasa lain dengan kata satuan bahasa lain. Relasi makna adalah hubungan semantik yang ada di antara satu unit bahasa dengan unit bahasa lainnya. Pada pembahasan di bawah ini, akan dijelaskan lebih lengkap mengenai konsep dasar relasi makna dan jenis-jenisnya.
A. Hakikat Relasi Makna
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia, dan tidak terlepas dari arti atau makna setiap kata yang diucapkan. Sebagai unsur dinamis, bahasa selalu dianalisis dan dipelajari, dengan menggunakan berbagai metode untuk mempelajarinya. Salah satu metode lain yang dapat digunakan untuk belajar bahasa adalah metode makna. Semantik adalah bidang linguistik yang mempelajari makna. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang berarti tanda atau lambang.
Pada tahun 1883, seorang ahli bahasa Prancis bernama Michel Breal pertama kali menggunakan istilah semantik. Kata semantik kemudian dianggap sebagai istilah dalam bidang linguistik, yang mempelajari tanda-tanda linguistik dan apa yang dirujuknya. Oleh karena itu, semantik kata dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau lambang, yang merupakan salah satu dari tiga tingkatan analisis bahasa, yaitu fonologi, tata bahasa, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Dalam bahasa, makna kata-kata saling berhubungan, dan hubungan ini disebut dengan istilah relasi makna. Hubungan makna dapat mengambil banyak bentuk. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sering kita jumpai makna atau hubungan semantik antara suatu kata atau satuan bahasa lain dengan kata satuan bahasa lain. Relasi makna adalah hubungan semantik yang ada di antara satu unit bahasa dengan unit bahasa lainnya. Satuan bahasa dapat berupa kata, frasa atau kalimat, dan hubungan semantik dapat mengungkapkan makna yang sama. Adapun makna tersebut, yaitu makna konflik, makna inklusif, dan makna ganda atau makna yang berlebihan. Hubungan makna biasanya dibahas dengan isu-isu yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguitas, redundansi, dsb.
Perkembangan bidang ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makna suatu kata berubah. Sebuah kata di sini dahulu mengandung konsep makna tentang hal-hal sederhana, meskipun konsep makna itu mengandung perubahan karena perspektif baru, hal tersebut masih tetap digunakan. Makna sebagai unsur bahasa merupakan unsur yang dapat berubah, karena makna berkaitan dengan konsep dan pemikiran manusia yang tidak pernah berakhir. Perubahan makna dipengaruhi oleh banyak alasan, dan ada banyak jenis perubahan makna, termasuk pembesaran dan penyempitan, perubahan keseluruhan, peningkatan, dan kemunduran. Abdul Chaer (1989), berpendapat bahwa relasi makna adalah hubungan makna atau relasi semantik antara sebuah kata atau unit bahasa lainnya.
Menurut Mansoer Pateda (2001), arti istilah adalah kerancuan antara kata dan istilah. Makna selalu menyatu dalam ungkapan kata dan kalimat. Ada banyak jenis makna, termasuk makna leksikal, makna gramatikal, makna luas, dan makna konotatif. Selain itu, ada yang disebut hubungan makna, yaitu hubungan makna yang merupakan hubungan semantik antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain.
B. Jenis-Jenis Relasi Makna
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, relasi makna biasanya dibahas dengan isu-isu yang disebut (1) sinonimi, (2) antonimi atau oposisi, (3) polisemi, (4) homonimi, homofoni, dan homografi, (5) hiponimi dan hipernimi, (6) ambiguitas, dan (7) redudansi. Oleh sebab itu, berikut merupakan penjelasan dari jenis-jenis relasi makna yang bersangkutan.
1. Sinonimi
Secara etimologis, sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama” dan syn berarti “dengan”. Oleh karena itu, kata sinonimi secara harfiah berarti nama lain untuk benda dan hal yang sama. Menurut Verhaar (1978), definisi sinonim adalah ungkapan (bisa berupa kata, frasa atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lainnya. Hubungan makna antara dua sinonim adalah dua arah. Dua sinonim yang tidak 100% mirip, tetapi kurang lebih, dan kesamaan itu tidak mutlak. Hal ini tidak mutlak, karena ada prinsip semantik bahwa jika bentuknya berbeda maka maknanya akan berbeda walaupun perbedaannya kecil. Sinonimi tidak memiliki arti yang sama persis.
Menurut teori Verhaar (1999), tentu hal yang sama berlaku untuk informasi, meskipun informasi tersebut tidak memiliki makna, karena informasi tersebut bersifat ekstralinguistis dan artinya intralingual. Tidak ada sinonimi mutlak atau sinonimi simetris dalam kosakata bahasa Indonesia. Kita tidak bisa bertukar satu kata dengan kata lain. Ini adalah sinonim karena berbagai alasan. Di antaranya, yaitu faktor waktu, faktor lokasi atau wilayah, faktor sosial, faktor lapangan kegiatan, dan faktor nuansa makna.
Sinonimi tidak hanya muncul pada kata, tetapi juga pada satuan bahasa lain, seperti morfem bebas dengan morfem terikat, kata dengan kata, kata dengan frasa, frasa dengan frasa, serta kalimat dengan kalimat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang sinonimi, yaitu (a) tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonimi; (b) beberapa kata adalah sinonimi dalam bentuk dasar, tetapi tidak ada dalam bentuk penemuan; (c) beberapa kata tidak memiliki sinonimi dalam bentuk dasarnya, tetapi memiliki sinonimi dalam bentuk penemuan; dan (d) beberapa kata tidak memiliki sinonim dalam arti “praktis”, tetapi mereka memiliki sinonim dalam arti “kiasan”.
2. Antonimi
Antonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama” dan anti berarti “melawan”. Jadi antonimi literal berarti “nama lain untuk hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikannya sebagai ungkapan yang maknanya dianggap berlawanan dengan makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua antonimi ini adalah dua arah. Antonimi ada di semua tingkat bahasa, tingkat morfem, tingkat kata, tingkat frasa, dan tingkat kalimat. Tidak mudah untuk hanya menemukan contoh dalam setiap bahasa.
Antonimi, seperti sinonimi, tidak mutlak. Inilah sebabnya mengapa dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan bahwa makna mana yang dianggap berlawanan dengan makna ungkapan lain. Jadi hanya dianggap sebaliknya, bukan kebalikan mutlak. Untuk oposisi terminologi, dapat mencakup konsep-konsep yang benar-benar berlawanan dengan yang hanya perbandingan. Menurut sifatnya, oposisi dapat dibagi menjadi:
- Oposisi mutlak, yaitu adanya kontradiksi mutlak dalam arti.
- Oposisi ekstrem, yaitu makna kata-kata yang terkandung dalam oposisi ekstrem ini kontradiksinya tidak mutlak, tetapi bertahap. Ini berarti bahwa arti kata bersifat hierarkis. Kata-kata dengan polaritas yang berlawanan ini biasanya merupakan kata sifat.
- Relasi lawan, yaitu makna kata-kata yang berlawanan dengan relasi (hubungan) ini bersifat komplementer. Dengan kata lain, sebuah kata ada karena ada kata lain yang berlawanan. Tanpa keberadaan keduanya, oposisi ini tidak ada. Kata-kata yang bertentangan dengan hubungan ini dapat berupa kata kerja. Selain itu, itu bisa menjadi kata benda.
- Tingkat oposisi, yaitu pada oposisi tingkat ini, arti kata mengungkapkan serangkaian tingkatan. Kata-kata dengan oposisi hierarkis adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitung, dan penanggalan, serta nama kelas.
- Oposisi majemuk, yaitu oposisi antara dua kata. Namun, dalam kosakata bahasa Indonesia, ada kata-kata yang bersesuaian dengan banyak kata.
3. Polisemi
Kata polisemi biasanya didefinisikan sebagai unit linguistik dengan banyak arti (terutama kata, tetapi juga frasa). Menurut pembahasan sebelumnya, setiap kata hanya memiliki satu makna, yang disebut makna leksikal dan makna yang sesuai dengan objek yang dirujuknya. Dalam perkembangan selanjutnya, komponen makna tersebut berkembang menjadi makna individual.
Makna yang bukan merupakan makna asli kata bukanlah makna leksikal, karena tidak merujuk pada rujukan kata yang terkait dengan kata polisemi, demikianlah cara membedakannya dari bentuk yang disebut homofoni. homofoni ini bukanlah sebuah kata, melainkan dua kata atau lebih yang kebetulan memiliki bentuk yang sama.
4. Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onomo, yang berarti “nama”, dan homo berarti “sama”. Secara harfiah, homonimi dapat diartikan sebagai “nama yang sama dari sesuatu atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan homonimi sebagai ekspresi (berupa kata, frasa atau kalimat) dan ekspresi lain (juga dalam bentuk kata, frasa atau kalimat) yang memiliki bentuk yang sama tetapi makna yang berbeda.
Dalam bahasa Indonesia juga banyak terdapat homonimi yang tersusun lebih dari tiga kata. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS Poerwadarminta menggunakan angka romawi dalam komponen sinonimi tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983), terdiri dari Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), perkembangan homonimi kata ditandai dengan angka Arab. Hubungan antara dua homofon adalah dua arah. Ada dua kemungkinan alasan untuk homofon, yaitu: (a) bentuk homophonic berasal dari bahasa atau dialek yang berbeda; dan (b) bentuk nama yang sama merupakan hasil proses morfologis (Parera, 2004).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasinya bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata ‘bisa’ yang berarti ‘racun ular” dan kata ‘bisa’ yang berarti ‘sanggup’, selain merupakan bentuk yang homonimi adalah juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama. Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon, tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta, kata-kata yang homograf ini diberi keterangan cara melafalkannya di belakang tiap-tiap kata. Ada beberapa buku pelajaran yang menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena mereka berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a) homonim yang homofon; dan (b) homonim yang homograf.
5. Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, di mana onoma berarti “nama” dan hype berarti “di bawah”. Oleh karena itu, secara harfiah berarti “nama milik nama lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) menunjukkan bahwa hiponimi adalah ekspresi (biasanya kata, tetapi bisa juga frasa atau kalimat), dan maknanya dianggap sebagai bagian dari makna ekspresi lain. Jika hubungan antara dua sinonimi, antonimi, dan homofon adalah dua arah, maka hubungan antara dua kata hiponimi adalah satu arah. Definisi Verhaar menunjukkan bahwa kata-kata yang lebih rendah juga dapat muncul dalam frasa dan kalimat. Namun, sulit untuk menemukan contoh bahasa Indonesia karena lebih banyak tentang logika daripada bahasa. Oleh karena itu menurut Verhaar, masalah ini bisa dilewati dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Konsep kata hiponimi dan hipernimi, yaitu makna satu kata lebih rendah daripada makna kata lain. Oleh karena itu, sebuah kata yang merupakan kata atas dari beberapa kata lain dapat menjadi kata yang lebih rendah dari kata lain di tingkat atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda, tetapi ada juga yang sulit diterapkan pada kata kerja dan kata sifat. Selain istilah hyponymy, ada juga istilah yang disebut meronymy. Kedua istilah ini mengandung konsep yang hampir sama. Perbedaannya adalah hiponimi berarti kata (morfem) yang maknanya lebih rendah dari kata lain, sedangkan meronimi berarti kata (morfem) yang ada sebagai bagian dari kata lain (Stephen Levinson, 1983).
6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan biasanya diartikan sebagai kata-kata dengan makna ganda atau ambigu. Kata polisemi juga memiliki dua arti. Polisemi dan ambiguitas memiliki makna ganda hanya ketika makna ganda dalam polisemi berasal dari satu kata, dan makna ganda dalam ambiguitas berasal dari unit gramatikal yang lebih besar, yaitu frasa atau kalimat, dan terjadi karena interpretasi struktur gramatikal yang berbeda dari penafsiran ganda semacam ini pada bahasa lisan mungkin tidak terjadi karena struktur gramatikalnya dibantu oleh unsur-unsur intonasi (A. Murtiani, 2017) Namun, dalam bahasa tulis, jika diberikan tanda ejaan yang tidak lengkap, interpretasi ganda ini dapat terjadi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homofon dianggap sebagai bentuk yang sama persis tetapi memiliki arti yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah bahwa semua bentuk memiliki arti yang berbeda karena interpretasi yang berbeda dari struktur gramatikal bentuk. Ambiguitas hanya muncul pada frasa dan satuan kalimat, sedangkan homofon dapat muncul di semua satuan gramatikal (morfem, kata, frasa, dan kalimat).
7. Redudansi
Istilah redundansi (dari redundancy, dalam bahasa Inggris; dan redundant kata sifat) sering digunakan dalam linguistik modern untuk menunjukkan bahwa dari sudut pandang semantik, komponen dalam kalimat tidak diperlukan. Selain itu, istilah ini sering diartikan sebagai “penggunaan elemen tersegmentasi secara berlebihan dalam beberapa bentuk ucapan.” Tidak ada masalah redundansi dalam semantik, karena salah satu prinsip semantik adalah jika bentuknya berbeda maka maknanya juga berbeda.
Misalnya, makna kalimat bola ditendang oleh si Udin berbeda dengan kalimat si Udin menendang bola. Penggunaan kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menekankan makna pelaku (agentif) daripada kalimat kedua tanpa kata. Oleh karena itu, kedua kalimat ini memiliki arti yang berbeda, tetapi mengandung informasi yang sama. Dalam hal ini yang terpenting adalah prinsip penyajiannya, yaitu informasi tidak dapat disamakan dengan makna. Makna adalah fenomena dalam ujaran (wacana, fenomena internal), dan informasi adalah sesuatu di luar ujaran (wacana-eksternal).
C. Daftar Referensi
- Chaer, A. (1989). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
- Levinson, C. Stephen. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
- Mansoer, P. (2001). Semantik Leksikal. Jakarta. Rineka Cipta.
- Murtiani, A. (2017). Tata Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Araska.
- Parera, J. D. (2004). Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
- Verhaar, J. W. M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: UGM Press.