Secara etimologis, semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema yang berarti tanda. Pada pembahasan ini, kita akan mengenal secara langsung mengenai konsep tanda. Pembahasan ini adalah lanjutan dari pembahasan sebelumnya, yaitu hakikat semantik. Sebelum itu, kita juga akan membahas mengenai makna, acuan, lambang dan konseptualisasi makna dalam semantik. Berikut merupakan penjelasan dari bagian-bagian tersebut.
A. Tanda
Konsep tanda itu sendiri merupakan dasar dari semua komunikasi. Sebuah tanda akan berarti sesuatu selain dirinya sendiri. Berkaitan dengan itu, Levinson (1983), memperkenalkan tiga konsep dasar kebahasaan, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara tanda, semantik mempelajari hubungan antara tanda dan objek tanda, dan pragmatik mempelajari hubungan antara tanda dan penafsir tanda. Ketiga area ini memperlakukan dan mempelajari tanda dengan cara yang berbeda.
Dalam pembahasan ini, kita akan membahas semantik sebagai hubungan antara tanda dan objek tanda. Tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang terdiri dari tanda-tanda, tetapi sejauh menyangkut pikiran manusia, dunia itu sendiri juga seluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Tanpa tanda, manusia tidak akan mampu menjalin hubungan dengan realitas yang ada. Menurut KBBI, tanda adalah alamat atau sesuatu yang menggambarkan sesuatu. Tanda dapat dikatakan sebagai substitusi (pengganti) hal lain. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut perlu dijelaskan.
Tanda merupakan istilah utama yang dikenal dalam kajian semantik. Berger (2010) berpendapat bahwa tanda adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk sesuatu yang lain. Tanda adalah objek material, tindakan, atau peristiwa yang dapat diamati melalui indra. Dalam konteks ini, setiap karakter terdiri dari penanda dan petanda (menggunakan istilah Saussure).
Pierce yang berasal dari disiplin ilmu linguistik dan logika memopulerkan tiga jenis tanda berdasarkan objeknya, yaitu (1) ikon, (2) indeks, dan (3) tanda. Ikon adalah tanda yang menunjukkan hubungan antara penanda dan petanda yang sesuai dengan bentuk alamiahnya. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau referensi yang serupa, seperti suara kucing yang sedang mengeong. Indeks adalah tanda yang menunjukkan tanda hubungan alamiah antara tanda dan tanda kausal (hubungan sebab-akibat) atau tanda yang berhubungan langsung dengan kenyataan, misalnya istilah sepatu digunakan untuk berjalan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petanda, hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, hubungan tersebut berdasarkan kesepakatan bersama atau kesepakatan di masyarakat. Tanda digunakan untuk menunjukkan sesuatu, penerjemah menafsirkannya berdasarkan pengalamannya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa tanda adalah sebuah merek mungkin bersifat pribadi, sosial, atau spesifik sesuai dengan konteksnya.
B. Makna
Dalam bidang linguistik, salah satu ilmu yang mempelajari tentang makna adalah semantik. Sebagai subjek kajian dalam linguistik semantik, makna ada pada semua atau semua tingkatan konstruksi, makna berada pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bahasa yang digunakan untuk interaksi sehari-hari sangat bervariasi, baik fungsi maupun bentuknya. Tingkat penggunaan bahasa yang digunakan dalam suatu interaksi tentunya melekat pada penggunaan kata atau kalimat yang mengarah pada makna, yang merupakan ruang lingkup penelitian semantik. Faktanya, pertanyaan tentang makna memang sangat sulit, dan merupakan istilah yang paling ambigu dan kontroversial dalam teori bahasa. Sedangkan makna adalah masalah bahasa, hubungan dan keterkaitannya dengan aspek kehidupan manusia sangatlah erat.
Mengenai makna, ada beberapa ahli yang merumuskan hubungan antara tanda, objek, dan pemakai dalam bentuk hubungan segitiga. Oleh karena itu, teori makna segitiga dikembangkan untuk menjelaskan terjadinya makna. Salah satu ahli yang mengembangkan teori segitiga makna adalah Pierce. Menurut Pierce, tanda yang mengacu pada sesuatu di luar dirinya, yaitu suatu objek, akan memengaruhi pikiran pemakainya karena adanya hubungan antara unsur-unsurnya.
Jika dipadukan dengan konsep penanda dan petanda Saussure, maka makna tersebut sebenarnya lebih dekat dengan penanda. Karena pada dasarnya, makna adalah hasil dari sebuah tag. Ini adalah hasil dari tag yang akan masuk akal. Makna tidak terikat dengan kata-kata, tetapi masuk akal dalam pikiran orang. Dengan demikian, tidak ada hubungan langsung antara objek dan simbol yang digunakan untuk mewakilinya. Ketika kita mengatakan, misalnya, uang saya baru saja dicuri,” pengalaman itu nyata, tetapi tidak ada yang bisa merasakan kerugiannya. Hubungan itu muncul dalam pikiran pembicara.
Makna bukanlah konsep statis mutlak yang dapat ditemukan dalam paket pesan. Makna merupakan hasil interaksi dinamis antara simbol, kata penjelas, dan objek. Makna diberikan oleh sejarah dan dapat berubah seiring waktu. Makna berkaitan dengan tujuan manusia. Hubungan antara ketiga dimensi di atas dengan objek menunjukkan bahwa acuan terhadap simbol komunikasi didasarkan pada pengalaman dan pendidikan objek yang ditunjuk oleh simbol tersebut.
Dalam konteks linguistik, makna suatu kata tidak hanya dapat dijelaskan dengan acuannya, tetapi juga melalui aspek makna lainnya, aspek-aspek tersebut dianggap sebagai ciri kata yang terpisah dari kata lain dalam bahasa yang bersangkutan. Makna suatu kata ditentukan oleh keberadaan kata lain. Sebenarnya, arti kata ini dapat diubah dengan munculnya kata ini. Beberapa arti dan makna kata tergantung pada keberadaan kata lain dalam bahasa, atau penguasaan kata-kata pembicara dengan fungsi semantik yang terkait. Menurut Chaer (1995), makna dapat dibedakan atas dasar beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantik, makna dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.
C. Acuan
Dalam konsep semantik, acuan adalah objek tanda dan penanda dalam bahasa. Acuan berbeda dengan makna, makna adalah apa yang dilambangkan oleh sebuah kata, dan acuan adalah apa yang dirujuk oleh sebuah kata. Sebagai acuan, sebuah kata berarti ditemukan oleh seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Anthony dalam buku Pateda (1986: 67), acuan adalah realitas yang tersegmentasi, titik fokus tanda. Acuan mengacu pada hubungan antar unsur bahasa yang berupa leksem, kalimat, dan pengalaman. Acuan adalah dasar dari semantik. Makna keberadaan pada pembicara dan lawan bicara mengacu pada sesuatu. Misalnya, jika pembicara mengatakan /meja/, maka lawan bicara akan mengerti bahwa pembicara mengatakan /meja/ mengacu pada benda yang disebut kursi. Terkadang acuan dikaitkan dengan kenyataan atau keberadaan sesuatu. Perbedaan antara makna dan acuan dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering mendengar /siput/, /hei siput, cepatlah/. Ketika kita mendengar /siput/, kita tahu bahwa referensinya adalah siput. Pada saat yang sama /hei siput, pergi lebih cepat/, dan kata /siput/, tetapi referensinya adalah manusia. Kita berurusan dengan referensi perpindahan. Acuan penularannya hanya sifat orang yang diajak bicara, karena siput identik dengan berjalan lambat. Semua ini mengacu pada apa yang diinginkan manusia.
D. Lambang
Lambang adalah tanda yang digunakan untuk melambangkan hal lain. Lambang dalam semantik adalah konsep yang mewakili sebuah kata. Adapun macam-macam lambang dalam bahasa, yaitu (1) lambang benda, (2) lambang warna, (3) lambang bunyi, yang mewakili arti khusus bunyi alat musik atau kombinasi bunyi tertentu, dan (4) lambang suasana, yang berarti menggambarkan sesuatu, peristiwa, atau situasi dengan hal lain.
E. Konseptualisasi Makna
Makna kata adalah bidang penelitian yang dibahas dalam semantik. Semantik diposisikan sebagai cabang linguistik mengenai arti suatu kata dalam bahasa, dan linguistik adalah ilmu yang menyelidiki bahasa lisan dan tulis yang bersifat sistematis, rasional, dan empiris sebagai gambaran struktur dan kaidah bahasa. Berdasarkan sudut pandang di atas, dapat disimpulkan bahwa makna kata dalam bahasa dapat dipahami berdasarkan semantik. Hornby (dalam Pateda, 1989: 45) berpendapat bahwa makna adalah apa yang kita maksud. Poerwadarminta (dalam Pateda, 1989: 45), menyatakan bahwa makna berarti arti atau maksud. Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar, dan pemakai bahasa telah sepakat satu sama lain sehingga dapat saling memahami (Aminuddin, 1988: 53). Dari definisi tersebut terlihat bahwa makna mengandung tiga unsur pokok, yaitu (1) makna merupakan hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, dan (2) penentuan hubungan itu terjadi karena adanya konsistensi bahasa, dan (3) perwujudan makna tersebut dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat dimengerti. Banyak ahli semantik, salah satunya adalah Ogden dan Richards (dalam Beratha, 2009: 52-53), mengemukakan konsep makna sebagai (1) atribut bawaan, (2) kata tambahan untuk sebuah kata dalam kamus, (3) konotasi sebuah kata, (4) lokasi apa pun dalam sistem, (5) konsekuensi aktual dari sesuatu dalam pengalaman masa depan kita, (6) objek sebenarnya direferensikan oleh pengguna simbol, (7) hal-hal yang harus dirujuk oleh pengguna simbol, (8) apa yang dimaksud oleh pengguna simbol, dan (9) penerjemah simbol.
Konsep makna Ogden dan Richards sangat beragam, yaitu makna internal, makna kamus, konotasi sebuah kata, dan hubungan antara simbol dengan realitas yang dirujuknya. Hal ini menunjukkan bahwa kajian makna termasuk dalam bidang semantik, pragmatik, dan wacana. Ada dua metode untuk menentukan makna, yaitu: (1) metode referensi analitik, dan (2) metode operasi. Metode analitik berusaha menemukan esensi makna dengan menganalisis komponen-komponen makna. Metode operasi menekankan penelitian pada penggunaan kata-kata, tidak tertarik pada arti kata, dan lebih memperhatikan cara kata-kata digunakan dalam konteks. Oleh karena itu, makna sebuah kata dapat ditentukan dengan mengetahui bagaimana seseorang menggunakannya daripada bagaimana seseorang mengatakannya.
F. Daftar Referensi
- Aminuddin. (1988). Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Sinar Baru.
- Alwi, Hasan. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Beratha, S. (2009). Peran Semantik dalam Penerjemahan. Universitas Udayana Bidang Sastra dan Budaya, 36.
- Berger, Arthur Asa. (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Chaer, A. (1995). Edisi Revisi: Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
- Djawad, A. A. (2016). Pesan, Tanda, dan Makna dalam Studi Komunikasi. STILISTIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 1(1).
- Levinson, C. Stephen. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
- Lantowa, J., Marahayu, N. M., dan Khairussibyan, M. (2017). Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra. Deepublish.
- Pateda, Mansoer. (1989). Analisis Kesalahan. Ende Flores: Nusa Indah